oleh: Z Bahri
Menulis!
Kebiasaan menulis itu sudah sejak kecil aku lakukan. Kalau tidak salah sejak kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Entah sebab apa aku kemudian mulai menulis di belakang lemari kala itu. Mencorat coret, dihapus, kemudian ditulis lagi memakai kapur garus.
Hal itu aku lakukan setiap sepulang sekolah. Kutulis apa saja yang ingin kuluapkan dari hari. Usai menulis sebaris, kadang saya tertidur pulas di belakang lemari atau saya langsung pergi bermain dengan teman-temanku.
Aku tumbuh tanpa pelukan hangat seorang ibu. Kelas 1 MI aku sudah mulai bergelut dengan sepi. Melewati hari dengan berbagai kenakalan. Main layangan seharian, mandi ke sungai, naik pohon, cari sarang burung hingga ngumpet di tengah ladang jagung untuk bolos ngaji ke langgar.
Namun kenakalanku itu tidak mengubah prestasi sekolahku. Ya, saya langganan rangking satu di kelas. Pernah sekali turun ke rangking dua tepat kelas 5 semester pertama. Sungguh mengesalkan, kukejar nilai itu dan akhirnya saya kembali rangking satu.
Segal prestasi itu, bagiku biasa saja. Tidak ada yang terlalu wah. Tidak ada yang bikin saya tersenyum lebar. Bahkan Raport nilai belajarku sering tidak diambil dari guru kelas. Bahkan tanda tangan orang tua di raport kadang diisi guru kelasku.
Sejak Ibu meninggal, ayahku cuma bertahan 40 hari di rumah. Ayahku menikah lagi dan tinggal di rumah istrinya. Genap hariku tanpa kehangatan peluk kedua orang tua.
Saya tumbuh dan diasuh bersama oleh kakek nenek dan om aku. Kakek dan om adalah orang yang sedikit kasar dalam memberi pendidikan. Sedikit membantah tidak mau ngaji ke mushallah pecut mendarat di kaki dan bentakan menyambar ke selaput darahku. Hatiku gigil, setiap hari tumbuh dalam bayang ketakutan.
Kendati demikian, mereka tetap memanjakan aku. Apa yang saya inginkan lebih banyak dikabulkan. Om aku juga sering memberi uang jajan. Tapi mereka tidak pernah kompromi apabila saya membangkang, tidak nunut dan lelet saat disuruh mengerjakan sesuatu.
Saya paham, sikap kasar mereka adalah agar saya jadi orang yang berahlak, pintar dan berpendidikan. Tapi waktu itu umurku belum bisa memahami itu semua. Aku hanyalah seorang anak yang suka bermain dan suka melakukan hal-hal baru seperti anak pada umumnya.
Akhir segala gelisahku banyak ditumpahkan lewat tulisan. Saya bercerita dengan kertas, bersenda gurau dengan kapur garus dan akhirnya saling mencintai dengan pena.
Apapun bentuk kesedihan yang kurasakan, kertas dan pena adalah teman terbaik aku untuk bercerita.
Lambat laun, kebiasan menulis sudah menjadi candu dalam hidupku. Buku tulis sekolah sering menjadi korban potongan coretan kata yang tidak bertuan. Yang jelas, ketika saya menulis kata, pertanda sedang ada gelisah yang bersarang di kepala, gelisah yang mulai menggumpal dalam kalbu.
Memasuki kelas enam MI. Mata pelajaran Bahasa Indonesia materi sastra telah menggodaku. Aku mulai berkenalan dengan puisi. Waktu itu, ada sebuah puisi karangan anak sepantaran dengan aku. Ah, sudah kupaksa otak ini untuk mengingat, tapi aku tetap lupa judul dan pengarangnya siapa.
Aku pun mulai merakit kata demi kata. Merajut bait demi bait. Wajah puisi mulai kupandangi, sunggu aku benar-benar mulai teratrik kepadanya. Seperti layangan putus yang akan segera kukejar.
Sejak berkenalan dengan puisi, tulisanku seperti mulai bersandi. Jadi lebih mudah menyimpan rahasia gelisahku dari orang-orang dewasa.
Menulis telah menemani masa kanak-kanakku. Beranjak remaja, dia tetap setia menemani sepiku. Bahkan aku semakin gila bermain kata dengan puisi.
Setelah lulus MI, aku dimondokin ke salah satu pesantren ternama yang ada di Indonesia, Di pesantren tersebut, puisiku banyak lahir dari keindahan seorang gadis bermata biru. Senyumnya candu saat kulihat di balik kerudung putihnya.